Rabu, 04 Juni 2008

ANALISIS WACANA...

Wacana adalah kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak pengertian yang merangkai kata wacana ini. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.Sedangkan menurut Michael Foucault (1972), wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.

Menurut Eriyanto (Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media), Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.

Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam bahasa. Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal) -- Analisis Isi (kuantitatif)

Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. --Analisis Framing (bingkai)

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis).

Paradigma Kritis
Everett M. Roger, seperti dikutip oleh Eriyanto, mengemukakan bahwa “media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan.” Saya memahami pernyataan Everett M. Roger bahwa media memiliki kemungkinan besar dikuasai oleh kelompok berkuasa atau kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan.

Menurut Eriyanto ada beberapa pertanyaan yang muncul dari sebuah paradigma kritis. Yaitu: siapa yang mengontrol media? Kenapa ia mengontrol? Keuntungan apa yang bisa diambil dengan kontrol tersebut? Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi obyek pengontrolan?

Mengapa pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting? Karena paradigma kritis ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan, bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Sehingga jawaban yang diharapkan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol suatu proses komunikasi.

Menurut Horkheimer, seperti dikutip Eriyanto, salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Karena kondisi masyarakat yang kelihatannya produktif dan bagus tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak.

Mengenai paradigma kritis, Stephen W. Littlejohn, seperti dikutip Alex Sobur, menjelaskan: “Perkembangan teori komunikasi massa yang didasarkan pada tradisi kritis Eropa (Marxis) cenderung memandang media sebagai alat ideologi kelas dominan. Tradisi Eropa berusaha mematahkan dominasi model komunikasi Amerika yang notabene adalah penganut aliran Laswellian ataupun stimulus-respon, teori yang berasumsi khalayak adalah konsumer pasif media massa. Dengan kata lain, fenomena komunikasi massa bukanlah sekedar sebuah proses yang linear atau sebatas transmisi (pengiriman) pesan kepada khalayak massa, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan (atau teks) berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan memproduksi makna tertentu.”

Dari pernyataan yang diberikan Stephen W. Littlejohn dan Everett M. Roger mengenai paradigma kritis, saya dapat menyimpulkan bahwa media merupakan sebuah alat penyebaran ideologi kelas dominan (para penguasa maupun pemilik modal). Sehingga komunikasi didefinisikan sebagai sarana pertukaran pesan yang bertujuan memproduksi makna tertentu, dimana komunikasi tersebut tentunya mewakili kepentingan kelompok dominan.

Menurut Stuart Hall, paradigma kritis bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas yang dipandang alamiah oleh kaum pluralis, tetapi juga berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari sebuah pertarungan kekuasaan. Karena melalui media, nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak.

Dalam proses pembentukan realitas, Stuart Hall menekankan pada dua titik, yaitu bahasa dan penandaan politik. Penandaan politik disini diartikan sebagai bagaimana praktik sosial dalam membentuk makna, mengontrol, dan menentukan makna. Menurut Hall, media berperan dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu, dan menunjukkan bagaimana kekuasaan ideologi di sini berperan – karena ideologi menjadi bidang di mana pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat.

Mediamassa
Menurut Alex Sobur, media (pers) sering disebut banyak orang sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan politik masyarakat. Bahkan, media, terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial-budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch, menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government).

Alex Sobur sendiri mendefinisikan media massa sebagai: “Suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.”

Berdasarkan pendefinisian media massa menurut Alex Sobur, saya memahami bahwa media massa merupakan suatu alat yang digunakan untuk menyebarkan pendapat umum (opini publik) dari pihak-pihak dominan, misalnya saja pemerintah. Biasanya kelompok dominan menggunakan media massa untuk melakukan pengkonstruksian realitas yang berujung pada upaya legitimasi masyarakat terhadap suatu wacana.

Louis Althusser, menulis bahwa, “Media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai saran legitimasi. Media massa sebagimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).”

Namun, pandangan Althusser tentang media ini dianggap Antonio Gramsci, dalam Al-Zastrouw, mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersubordinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies).

Antonio Gramsci dalam Alex Sobur melihat, “Media sebagai ruang di mana berbagai ideologi di representasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.”

Dari semua penjabaran mengenai media massa, saya menyimpulkan, media massa merupakan alat atau sarana penyebaran ideologi kelompok dominan, alat legitimasi, dan alat kontrol sosial atas wacana publik. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya praktek diskursif oleh media terhadap kelompok-kelompok marjinal, yang ditekan oleh kelompok dominan (penguasa). Bahkan, praktek diskursif tadi dapat dimanfaatkan media sebagai alat legitimasi atau pembenaran-pembenaran terhadap suatu konteks permasalahan yang tidak sesuai dengan ideologi dominan.

Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Begitu juga media cetak, isi media cetak menggunakan teks dan bahasa.

Guy Cook menyebut tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut, “Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.”

Dari penjelasan diatas, saya memahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana.

Menurut Ibnu Hamad, benar bahwa unsur utama dalam konstruksi realitas adalah bahasa. Kemudian ia mengutip dari Giles dan Wiemann, “bahasa (teks) mampu menentukan konteks”. Karena lewat bahasa disini orang mencoba mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya) melalui pemilihan kata yang secara efektif mampu memanipulasi konteks.

Namun, menurut Hotman M. Siahaan: “Bahasa tak dapat dipandang sebagai alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang secara wewenang menunjuk sesuatu realitas monolitik. Bahasa merupakan bahasa sosial dan bukan sesuatu yang netral atau konsisten, melainkan partisipan dalam proses tahu, budaya, dan politik. Bahasa bukan merupakan sesuatu yang transparan, yang menangkap dan memantulkan segala sesuatu diluarnya secara jernih. Secara sosial, terikat bahasa dikonstruksi dan direkonstruksi dalam kondisi khusus dan setting sosial tertentu dan bukan semata tertata menurut hukum yang diatur secara alamiah dan universal. Karenanya sebagai representasi hubungan sosial tertentu, bahasa senantiasa membentuk subyek-subyek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana atau diskursus tertentu.”

Norman Fairclough melihat bahasa sebagai praktek kekuasaan. Karena bahasa secara sosial dan historis dianggap sebagai bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Sehingga dalam menganalisis wacana, Fairclough memusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, saya menyimpulkan bahwa bahasa tidak hanya sebagai bahasa verbal, melainkan juga sebagai sebuah kegiatan sosial yang tidak netral dan tidak konsisten. Dalam konteks sosial, bahasa dapat dikonstruksi ataupun direkonstruksi pada kondisi dan setting sosial tertentu.

Untuk kalangan kritis (critical), bahasa dipandang sebagai alat perjuangan kelas. Makna dalam hal ini tidak ditentukan oleh struktur realitas, melainkan oleh kondisi ketika pemaknaan dilakukan melalui praktek sosial, dimana terdapat peluang yang sangat besar bagi terjadinya pertarungan kelas dan ideologi.


Pemilihan Presiden dan Primordialisme
R. William Liddle *)

DI INDONESIA, pertarungan politik di tingkat nasional masih sangat diwarnai oleh konflik agama. Setidaknya begitulah kesimpulan saya setelah mengikuti proses tumbangnya Orde Baru dan bangkitnya Orde Reformasi, sejak awal krisis nasional pada pertengahan 1997 sampai pemilihan Abdurrahman Wahid sebagai presiden pada Oktober 1999.

Chinua Achebe, novelis Nigeria ternama, pernah bilang lewat salah satu tokohnya yang mewakili filsafat desa tradisional bahwa keunggulan orang tua hanya satu: mereka bisa mengingat banyak. Saya tidak berpretensi bahwa saya bisa berbicara sebagai sesepuh desa tradisional di Indonesia. Tapi saya masih ingat hal-hal yang saya saksikan hampir 40 tahun lalu di Kabupaten Simalungun dan ibu kotanya, Pematangsiantar, Sumatra Utara, ketika saya melakukan penelitian di sana untuk disertasi saya.

Topik saya, diilhami oleh penelitian Clifford Geertz di Jawa beberapa tahun sebelumnya, adalah hubungan antara partai politik di tingkat lokal dan tingkat nasional. Di Pare, Jawa Timur, Geertz menemukan penggolongan masyarakat setempat berdasarkan perbedaan agama dan budaya: priayi, abangan, santri modernis, dan santri tradisionalis. Tiap-tiap golongan itu—setidaknya sebagian besar anggotanya—berafiliasi dengan salah satu "aliran", yaitu partai politik nasional dan onderbouw-onderbouw-nya: priayi dengan PNI, abangan dengan PKI, santri modernis dengan Masyumi, dan santri tradisionalis dengan NU.

Di Simalungun dan Siantar, saya menerapkan pendekatan Geertz dan saya menemukan hubungan-hubungan antara partai lokal dan kelompok agama, budaya, dan etnis yang kira-kira serupa dengan penemuan dia. Ternyata, pada waktu itu, rakyat Indonesia sangat mendambakan partai-partai yang akan mewakili kepentingan mereka yang bersifat primordial. Saya lalu menyimpulkan bahwa setiap usaha dari atas untuk memaksakan sistem lain, seperti yang dilakukan selama Orde Baru oleh Presiden Soeharto melalui Golkar, akan gagal. Sebab, kalau tangan besi ABRI dan birokrasi kemudian dilepaskan, perilaku lama pasti akan muncul kembali.

Dengan latar belakang itu, saya tidak terkejut ketika aliran-aliran lama muncul kembali, tentu sebagian dalam kemasan baru, menjelang Pemilu 1999, atau bahwa semua partai besar pemenang pemilu, meskipun kadang-kadang secara agak samar, masih bersifat primordial. PDI-P mewakili abangan dan pemilih non-Islam, Golkar mewakili Islam modernis, khususnya di luar Jawa, dan PKB adalah partai Islam tradisionalis. PPP sekaligus merangkul kaum modernis dan tradisionalis, sementara PAN, PBB, dan PK bersaing untuk meraih suara-suara modernis.

Yang mengejutkan, dan sesudah itu membuat saya bersikap prihatin sampai sekarang, adalah intensitas emosi politik berdasarkan penggolongan agama tersebut. Status saya sebagai sesepuh dari Columbus, Ohio, tampaknya tidak cukup mempersiapkan saya untuk mengerti betapa dalamnya sikap kecemasan dan kecurigaan yang dirasakan oleh kebanyakan pemimpin partai setelah Pemilu dan sebelum Sidang Umum MPR 1999.

Para politisi seakan-akan membagikan diri mereka ke dalam dua kelompok besar, Islam dan non-Islam. Orang Islam takut bahwa mereka "akan ditindas lagi seperti pada zaman Benny Moerdani berkuasa," yaitu pada 1980-an. Orang non-Islam khawatir bahwa mereka "akan menjadi warga negara kelas dua" dalam negara Islam gaya Masyumi 1950-an yang bakal didirikan partai-partai Islam. Saya sendiri tidak melihat ancaman-ancaman itu sebagai sesuatu yang serius, tapi harus saya akui bahwa hampir semua orang partai yang saya wawancarai pada waktu itu betul-betul merasakannya.

Kesadaran saya tentang keretakan yang tajam ini sangat mempengaruhi sikap saya tentang usul pemilihan presiden langsung yang kini diperdebatkan di Indonesia. Sebab, saya ingat bahwa konflik Islam dan non-Islam yang menghangat tahun lalu hanya reda setelah Gus Dur dipilih sebagai presiden melalui prosedur lama, yaitu pemilihan yang tidak langsung oleh anggota-anggota MPR. Gus Dur berasal dari kubu Islam tradisionalis, tapi sebagai pribadi dia bisa menjembatani dua seteru yang berlawanan. Dia membuktikan hal ini ketika dia meminta Megawati Sukarnoputri menjadi wakil presidennya.

Apa yang akan terjadi tahun lalu kalau presiden dipilih secara langsung? Tentu kita tidak bisa tahu dengan pasti, tapi saya membayangkan dua kemungkinan terbesar. Pertama, setiap partai besar akan mengajukan calonnya sendiri, dengan hasil bahwa presiden terpilih tidak akan mendapat mayoritas mutlak, misalnya Megawati akan menang dengan 34 persen dari semua suara. Kedua, beberapa partai Islam akan bergabung untuk melawan Megawati dan kelompok non-Islam yang dipimpinnya, dengan harapan suara gabungan mereka melebihi jumlah suara yang diberikan kepada Mega.

Menurut pendapat saya, kedua kemungkinan ini akan berdampak buruk pada stabilitas politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Kalau Megawati menjadi presiden tanpa dukungan dari mayoritas pemilih, pilihannya akan dianggap tidak sah, khususnya oleh kubu Islam. Selanjutnya, legitimasi lembaga demokrasi yang membawa hasil itu akan dipertanyakan. Dalam kemungkinan kedua, yaitu pertarungan langsung antara Megawati dan seorang jago dari partai-partai Islam, konflik seru dan berdarah antara massa Islam dan non-Islam tak terhindarkan. Dengan sendirinya, hasilnya adalah instabilitas politik, barangkali dengan banyak kasus seperti Maluku dan Maluku Utara tersebar di seluruh Nusantara.

Akhirulkata, saya ingin mengutip Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada 16 Agustus lalu: "Kecanggihan kita dalam membangun demokrasi akan menentukan bukan saja kualitas demokrasi itu sendiri, tetapi juga kelangsungan hidupnya." Bagi saya, dalam hal pemilihan presiden, kebijakan yang canggih adalah mempertahankan sistem pemilihan tidak langsung melalui sidang umum MPR, setidak-tidaknya untuk satu atau dua masa jabatan lagi.


Politik Indonesia dan Analisis Wacana
Ignas Kleden *)

ANALISIS wacana muncul sebagai suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial sekurang-kurangnya dalam sepuluh tahun terakhir. Sampai tingkat tertentu, dia merupakan penerapan praktis dari apa yang dikenal sebagai epistemologi dalam studi filsafat. Pertanyaan yang diajukan bukanlah mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, melainkan justru mengenai bagaimana orang memandang apa yang terjadi, dan mengapa pula dia memandang kejadian tersebut dalam perspektif yang satu dan bukannya dalam perspektif lainnya.

Dalam arti itu, analisis wacana ( discourse analysis ) tidak terlalu mempersoalkan apakah benar Dr. Syahril Sabirin, misalnya, telah ditawari berbagai jabatan lain oleh Presiden Gus Dur kalau saja dia bersedia mundur dari jabatannya sebagai Gubernur BI. Yang dipersoalkan adalah apakah seorang presiden yang telah mengetahui kesalahan seorang pejabat tinggi (yang menurut pertimbangan presiden merupakan alasan cukup untuk memecatnya) dapat dan boleh menawarkan jabatan lain kepada pejabat tinggi tersebut sebagai substitusi bagi pengunduran dirinya dari jabatannya. Taruhlah hal itu, misalnya, dilakukan Presiden Gus Dur demi alasan kemanusiaan agar yang bersangkutan jangan terlalu kehilangan muka, seorang analis wacana masih akan tetap bertanya apakah tindakan menawarkan jabatan lain tersebut merupakan tindakan yang dapat dibenarkan?

Apakah manusiawi kalau setiap orang yang telah melakukan kejahatan tidak diberi hukuman yang pantas menurut hukum, tetapi dicoba disembunyikan kesalahannya agar dia tidak kehilangan muka? Bukankah lebih manusiawi menghukum seseorang yang bersalah, supaya kesalahan yang sama tidak terulang pada pejabat lainnya dan masyarakat umum mendapat pegangan mengenai apa yang dimaksud dengan clean government ?

Kalau logika itu diteruskan, pada akhirnya seorang pembunuh tidak usah dihukum asal saja dia mengakui perbuatannya dan kemudian meminta maaf. Pada titik itu, keadilan telah diabaikan karena yang menjadi perhatian dan yang diselamatkan adalah pihak pembunuhnya, sedangkan pihak yang mengalami pembunuhan itu sama sekali tidak dijamin haknya dan tidak dipulihkan kerugiannya kecuali cuma dengan permintaan maaf dari si pembunuh.

Dengan demikian, analisis wacana menekankan bahwa setiap tindakan politik dapat didiskusikan pada sekurang-kurangnya dua tingkat, yaitu pada tingkat empiris (sebagai suatu matter of fact ) dan pada tingkat normatif (sebagai suatu matter of principle ). Hal ini penting karena tindakan politik yang tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip politik yang eksplisit dapat menjadi self-justifying political action karena dia dapat menciptakan tujuan baru yang akan selalu membenarkannya.

Contoh yang ilustratif dalam kaitan ini adalah prinsip "subsidiaritas" (" subsidiarity" principle) dalam hubungan antaranegara dan masyarakat. Prinsip ini mengatakan, negara tidak perlu mencampuri urusan-urusan yang dapat diatur sendiri oleh masyarakat. Akan tetapi, pada saat masyarakat tidak sanggup lagi mengatasi soal yang dihadapinya, negara wajib campur-tangan secara aktif, apalagi kalau masyarakat sendiri mengajukan permintaan kepada negara untuk membantu menyelesaikan masalah mereka.

Kasus Ambon, misalnya, semakin hari semakin berkembang menjadi tragedi kemanusiaan (dan bukan hanya tragedi nasional). Kalau tidak segera dihentikan, dia dapat mengalami eskalasi menjadi crime against humanity yang mungkin sekali akan membuat intervensi internasional menjadi tak terelakkan, apa pun retorika yang diajukan mengenai kedaulatan nasional.

Memang, pada mulanya pemerintah dapat berkata bahwa masalah konflik dan kekerasan di Ambon harus diselesaikan oleh masyarakat Ambon sendiri. Akan tetapi, pada saat masyarakat tidak sanggup lagi mengatasinya, sementara pembunuhan berjalan terus dengan tingkat irasionalitas yang absurd, pemerintah berwajib mengembalikan keamanan dan ketertiban di sana.

Tentu saja masalahnya amat kompleks dan tidak bisa dihadapi dengan simplifikasi yang berlebihan. Meskipun demikian, kompleksitas masalah tidak dapat memberi hak kepada pemerintah atau kepada siapa pun untuk terus membiarkan terjadinya pembunuhan. Rumah sakit Ambon sudah hancur terbakar, dan harapan terakhir untuk orang-orang yang luka-parah dan terancam hidupnya sudah menghilang bersama asap api.

Ada beberapa tingkat soal di sana, seperti masalah konflik politik, khususnya konflik elite politik, dendam antara kelompok agama yang anggota keluarganya sudah terbunuh, serta konflik yang mungkin berasal dari ketidakseimbangan penguasaan ekonomi yang muncul ke permukaan sebagai konflik antaragama. Soal-soal itu dapat diselesaikan pada beberapa tingkat.

Apa yang belum dapat diselesaikan memang harus menunggu waktu (seperti perdamaian kembali antara keluarga dan komunitas agama). Akan tetapi, apa yang dapat diselesaikan sekarang harus diselesaikan secepatnya. Masalah bunuh-membunuh adalah soal yang dapat ditangani oleh pemerintah dengan aparatus represifnya (dan untuk itulah negara diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan kekerasan). Masalah hak asasi manusia tidak bisa menjadi dalih bahwa polisi, dengan bantuan militer, tidak melakukan intervensi langsung untuk menghentikan pembunuhan. Hak warga negara untuk hidup merupakan hak asasi pertama yang harus dibela. Dan kalau hak itu terancam oleh orang lain, negara diwajibkan membela mereka yang terancam dan menindak mereka yang mengancam. Prinsip ini demikian jelasnya, walaupun dalam praktek mungkin mengalami komplikasi.

Pemberlakuan keadaan darurat sipil merupakan tindakan yang amat terlambat karena wacana yang dikembangkan di Jakarta tidak mendukung penyelesaian. Anggapan bahwa masyarakat Ambon sendirilah yang harus menyelesaikan soal mereka terdengar seperti sangat demokratis, tetapi sebetulnya mengabaikan tugas pokok negara sebagai penjaga ketertiban umum dan pelindung hak atas kehidupan para warganya.

Adalah jelas bahwa masyarakat Ambon sudah lumpuh sama sekali, baik pada tingkat kesadaran maupun tingkat organisasi sosialnya. Pengandaian bahwa kekacauan telah timbul karena ulah provokator tidak bisa dijadikan kesibukan diskusi politik saja. Mengapa yang diributkan justru kelihaian para provokator dan bukannya getirnya nasib rakyat dan masyarakat Ambon yang semakin hari semakin terlunta-lunta (dan karena itu semakin mudah diprovokasi dari hari ke hari)? Mengapa mereka tidak diberi hak untuk sedikit berharap atas perlindungan negara? Kebingungan kita rupanya sudah berkembang luas karena wacana politik mengenai kasus Ambon ini tidak pernah diuji secara serius dalam suatu analisis wacana.

Demikian pula persoalan hak interpelasi DPR dapat ditempatkan dalam analisis wacana yang sama. Persoalannya bukanlah apakah DPR dapat memakai hak tersebut atau tidak (karena hak tersebut dijamin oleh undang-undang), melainkan apakah pencopotan dua orang menteri (Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla) dapat menjadi alasan cukup bagi DPR untuk menggunakan hak tersebut. Mengapa DPR tidak memakai hak tersebut untuk menanyakan kepada pemerintah mengapa masalah Ambon menjadi demikian berlarut-larut dan tidak dapat diatasi pada tingkat tertentu? Apakah yang akan dipersoalkan wewenang presiden untuk memecat kedua menteri tersebut ataukah tingkat kelayakan alasan presiden dalam memecat mereka?

Pertanyaan pertama bersifat formal-legal dan jawabannya sudah jelas pula, yaitu hak prerogatif untuk memilih dan mengganti menteri-menteri yang membantunya. Pertanyaan kedua menyangkut kebijakan politik, yaitu mengapa gerangan presiden merasa perlu memakai hak prerogatif tersebut, dan mengapa pula justru kedua menteri tersebut yang menjadi sasaran hak prerogatifnya.

Dalam analisis wacana akan segera terlihat kecenderungan dalam penggunaan hak interpelasi ini. Pertama, politisi kita ternyata lebih peka terhadap persoalan yang menyangkut elite politik (dua orang menteri) daripada persoalan yang menyangkut rakyat banyak (masyarakat Ambon). Kedua, politisi kita ternyata lebih peka terhadap masalah politik yang menyangkut anggota partai mereka daripada yang menyangkut kepentingan umum. Politik Indonesia tetap saja elitis dan eksklusif dalam orientasinya, dan tiadanya analisis wacana akan menyebabkan konstruksi elitis dari politik ini akan tetap dilestarikan. Rakyat hanya menjadi bahagian dari suatu nomenklatur dalam bahasa politik, tetapi praktis tersingkir dari wacana, sambil dibiarkan ditelan bencana.


Tidak ada komentar: