Rabu, 04 Juni 2008

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kalangan garis keras, pemikiran Antonio Gramsci menjadi referensi wajib, Setidaknya orang harus mengetahui cetusan gagasan yang radikal dan tajam. Babarapa diantara cetusan Gramsci yang menjadi tema sentral dalam beberapa karyanya yaitu menyangkut tentang teori Hegemoni.

Posisi yang ditawarkan oleh Gramsci bagi kalangan intelektual adalah melebur dan mendorong terbentuknya wacana tandingan. Untuk mereka yang kini, terlibat dalam gelombang perubahan, pemikiran Gramsci menjadi sangat penting; setidaknya agar dapat mengambil keputusan yang tepat dan tegas, untuk memulai dengan siapa dan mewakili kepentingan seperti apa kita ini sebenarnya.

Sebagaimana banyak kasus perubahan, ada yang kebetulan berlaku sebagai kekuatan opportunis dan beberapa yang lain mengambil keputusan untuk melakukannya dengan cara radikal. Peran itu tergantung dari, besar-kecilnya persoalan yang kita hadapi dan penilaian kita atas masalah itu. Demikian halnya, saat seorang anak muda yang kebetulan menjadi tokoh menyanjung peran demokratis Angkatan Bersenjata, sedang mayoritas anak muda yang lain mengkritik keras peran sosial Angkatan Bersenjata. Jika dibaca dalam cara pandang Gramsci, anak muda yang pertama adalah sosok yang sudah ter-hegemoni; sedangkan anak muda yang kedua adalah mereka yang bersusah payah menyusun wacana tandingan

Dan yang perlu dipahami selanjutnya bahwa, kehadiran tokoh filsafat Antonio Gramsci tidak serta merta ada dengan sendirinya akan tetapi, lebih disebabkan oleh factor-faktor lain yang terjadi didalam perjalanan hidupnya. Maka ada beberapa hal penting yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain :

  1. Biografi dan latar belakang Gramsci

  2. Konsep-konsep pemikiran Gramsci


Ketika kami menyusun makalah ini, kami sedikit termotifasi karena paling tidak dengan adanya pembacaan dan penelaahan ini, kami bisa mengetahui tentang besarnya peran Negara dan kekuasaan dengan masyarakat, sehingga kami bisa mengambil posisi yang lugas terhadapnya.

BAB II

PEMBAHASAN



  1. Biografi dan latar belakang Antonio Gramsci


Pemikiran seorang fisuf, langsung atau tidak langsung sangat ditentukan oleh pengalaman hidup dan proses pembentukan intelektualnya. Demikian juga dengan Antonio Gramsci. Dia lahir di Ales, sebuah kota kecil di Sardinia, Italia, pada 22 Januari 1891. dan dia anak ke-empat dari tujuh bersaudara. Pada tahun-tahun awal, kehidupan keluarganya tidaklah terlalu miskin. Ayahnya bernama Francesco, anak seorang colonel dari Naples1.

Seluruh keluarga Francesco sempat menyelesaikan pendidikan dan mendapat posisi yang baik dalam pekerjaan, kecuali Francesco. Ia kurang beruntung, ketika ayahnya meninggal, studinya terpaksa putus di tengah jalan. Francesco kemudian harus mencari pekerjaan sendiri dan Ia menemukan pekerjaan yang tepat yaitu bekerja sebagai direktur Jawatan Registrasi di Ghilarza, sebuah kota kecil di tengah Sardinia. Kemudian menikah dengan penduduk setempat dari keluarga yang cukup baik. Dan tujuh anak, lahir dari pernikahan itu.

Sardinia sendiri adalah daerah yang miskin. Menurut data yang ada pada zaman itu, di Ghilarza hanya 200 dari 2000 penduduk setempat yang bisa membaca. Karena itu, orang tua Gramsci ingin menyekolahkan anak-anaknya, agar bisa hidup lebih baik kelak. Namun ambisi itu runtuh, ketika ayahnya dipecat dari pekerjaan pada tahun 1897, tanpa diberi pesangon sepeser pun. Ayahnya dipecat karena di curigai melakukan kecurangan “administrasi”. Walaupun kejadian yang menimpa ayahnya itu, hanya imbas dari keberpihakan ayahnya terhadap salah satu partai politik ketika itu2.

Dan tentu saja, peristiwa itu cukup menghancurkan perekonomian keluarga besar Gramsci. Selama ayahnya dipenjara, ibunya harus membanting tulang mencukupi kebutuhan keluarganya dengan bekerja sebagai tukang jahit. Bagi Gramsci sendiri, kondisi ini sangat berpengaruh, karena selain memang Ia mempunyai fisik yang cukup lemah juga, punggung yang bungkuk membuatnya sangat rapuh menghadapi kemiskinan. Dalam keadaan seperti itu, Gramsci dikirim oleh ibunya la ke sekolah local dengan guru seadanya.

Untuk membantu perekonomian keluarganya, Gramsci dan kakaknya Genaro bekerja di tempat ayahnya dulu bekerja. Waluapun gaji yang diterima hanya cukup untuk membeli dua pound roti, Gramsci masih bisa meluangkan waktunya untuk mempelajari kembali pelajaran yang diterimanya di sekolah dan belajar bahasa latin sendiri. Dan memang terbukti, dengan ketekunan dan kerja kerasnya itu, Ia mampu menjadi siswa yang berprestasi gemilang. Selain itu, dia banyak belajar kepada salah seorang lulusan sekolah menengah. Dua tahun kemudian, setelah ayahnya bebas dari penjara dan ekonomi keluarga itu mulai membaik, Gramsci dikirim ke sebuah gymnastium di Santu Lussurgiu. Akan tetapi, factor ekonomi pula yang menuntut ia keluar dari gymnastium3.

Pada umur delapan belas tahun, Gramsci kembali meninggalkan tempat kelahirannya karena melanjutkan jenjang pendidikannya di luar kota, tepatnya di Cagilari. Ia tinggal bersama kakaknya, genaro, yang mana kakaknya seorang pemimpin local kelompok Sosialis di sana. Dan di tempat kakaknya inilah, ia mulai mengenal bacaan-bacaan dan aktifitas politik.

Di kota Cagilari, situasi politik mulai memanas. Gerakan-gerakan protes mulai melanda seluruh kota dan merambat ke seluruh pulau. Tindakan eksploitatif oleh penguasa Italia, melalui melalui para pengusaha tambang mineral, telah membangkitkan semangat otonomi Sardinia. Ketika situasi itu semakin memburuk, dan gerakan mulai merambat ke seluruh pulau, Gramsci mulai mulai menyadari sejarah masyarakat pada masa itu. Ia mulai rajin membaca sejarah dan pamflet-pamflet sosialis untuk mendapat suatu perspektif baru dari situasi itu.

Pada tahun 1911, Gramsci memenangkan bea siswa untuk masuk ke universitas di Turin4. Ia diterima di fakultas sastra. Maka kepindahannya ke Turin ini menjadi tonggak awal perubahan hidupnya. Ia ditemani oleh mahasiswa lainnya yang mendapatkan bea siswa serupa, namanya Palmiro Togliati. Namun, bea siswa itu sangat kecil, sehingga Gramsci tetap hidup dalam kekurangan. Oleh karena itu, tidak heran ia sering terjangkit penyakit.

Kehidupannya di lingkungan kampus membawa hikmah yang lain. Ia berteman dekat dengan sejumlah profesor penting seperti Mateo Bartoli, seorang sejarawan dan ahli linguistic. Luigi Einaudi,. Seorang ekonom; dan juga Umberto Cosmo, seorang sastrawan dan sarjana ahli Dante.

Gramsci juga mulai bertualang dalam pergolakan pemikiran intelektual Italia yang mempunyai hubungan dekat dengan gerakan sosialis. Dan ia bertemu dengan para filsuf ternama kala itu seperti : Annibale Pastore, Antonio Labriola, Rodolfo Mondolfo, dan Benedetto Croce. Ke-empat tokoh inilah yang memberikan wawasan tentang teori-teori Marxis dan Hegel, sehingga membuka matanya terhadap dunia. Ia mulai menilai kondisi nyata di Italia dan pada Eropa pada umumnya5.


  1. Konsep-konsep pemikiran Antonio Gramsci


Ada tema besar pemikiran Antonio Gramsci, yaitu: tentang konsep kenegaraan dan konsep hegemoni6. Tapi sebelum membahas Konsep Negara dan Hegemoni Gramsci, barangkali perlu ditegaskan kembali bahwa upaya teoritis yang dilakukan oleh Gramsci ini adalah produk dari pencarian hubungan antara teori dan praktek dalam marxisme. Gramsci sebagai seorang marxis, selalu bergerak dalam suatu hubungan unik kesatuan teori dan praktek dalam hal perjuangan politik massa klas pekerja dalam masyarakat kapitalis.

Bagi Gramsci, partai adalah alat sesungguhnya bagi klas pekerja untuk menyatukan teori dan praktik. Teori muncul dari partai dan dalam rangka merespons problem yang dihadapi oleh massa yang terorganisir. Karena itu, konsepnya tentang Negara dan hegemoni sesungguhnya merupakan bagian dari praktek revolusioner yang dilakukannya. Ada beberapa konsep yang muncul dari pemikiran Gramsci antara lain7:


  1. Konsep Kenegaraan dan Masyarakat Sipil

Dalam kehidupan sehari-hari, Negara adalah sebuah realitas politik yang nyaris kita terima sebagai sesuatu yang given. Kecenderung ini terjadi karena Negara hadir dan dialami setiap hari, seakan berada di luar kesadaran manusia. Dalam kesadaran individual, Negara baru dirasakan manakala ia dengan kekuasaan. Bahwa, ada sebuah realitas kekuasaan di luar dirinya, yang berada pada atmosfir public, namun ternyata cukup berpengaruh terhadap kehidupannya sehari-hari.

Sebelum kepada konsep pemikiran Gramsci, ada baiknya kita mengetahui perjalanan histories tentang konsep kenegaraan dari masa ke-masa. Konsep tentang kekuasaan Negara telah menjadi perdebatan yang panjang dari pemikir-pemikir zaman yunani kuno. Plato dan Aristoteles menyatakan bahwa “Negara membutuhkan kekuasaan yang mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral rasional”8. Pada zaman pertengahan, ide tersebut mengalami rekonstruksi dalam lingkup kekuasaan teologis gereja. Pada masa itu, “Negara di anggap sebagai wakil gereja di dunia, dan gereja adalah wakil tuhan untuk menegakkan kehidupan moral di dunia”9. Dan inilah yang menjadi legitimasi kekuasaan mutlak dari Negara.

Pada abad renaissance, terjadi proses sekularisasi yang memisahkan kekuasaan Negara dari Gereja. Para fisuf seperti Thomas Hobbes, Locke, dan Rousseau mencoba mengkritik terhadap kekuasaan Negara pada fase-fase abad pertengahan. Mereka mengajukan model Negara, yang dapat menjamin otonomi manusia dari kekuasaan di luar dirinya (liberalisme)10. Dan dari sinilah berkembangnya kapitalisme yang pada akhir abad ke-19 menunjukan wajahnya yang beringas. Karl Marx yang muncul dalam latar histories demikian lantas memberikan pandangannya yang kriris terhadap kapitalisme. Menurut Marx, Negara tidak mengabdi kepada kepentingan seluruh masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan klas-klas sosial tertentu saja, dan menjadi alat suatu klas dominan untuk mempertahankan kedudukan mereka11.

Dan jika berbicara tentang konteks kenegaraan, maka tidak akan lepas dari pembicaraan tentang masyarakat sipil (civil society). Banyak pendefinisian tentang masyarkat sipil diantaranya: Hegel, Marx, Engels, dan kaum naturalis (Locke dan Rousseau).

Hegel menyebut masyarakat sipil sebagai masyarakat pra-politis (Negara alami)12. Bagi Hegel, masyarakat sipil merupakan kedaulatan dari “ketidakberadaban”, penderitaan dan korupsi fisik serta etis. Juga, masyarakat sipil ini diatur dan dikuasai oleh kapasitas intelektual super dari Negara, yang merupakan tatanan tertinggi dari etika dan moral manusia. Dengan kata lain, hegel mengartikan masyarakat sipil sebagai keseluruhan hidup pra-Negara; yang merupakan perkembangan dari hubungan-hubungan ekonomi yang mendorong dan menentukan struktur organisasi dan politik13.

Berbeda dengan Marx dan Engels, yang menyatakan bahwa antara Negara dan Masyarakat Sipil merupakan antitesis14. Lebih jelasnya, bahwa Negara (tatanan politik) merupakan elemen subordinate, dimana masyarakat sipil (kenyataan hubungan-hubungan ekonomi) adalah elemen yang menentukan. Dengan kata lain, Marx secara jelas meletakkan Negara di bawah masyarakat sipil. Dan adalah masyarakat sipil yang menentukan Negara dan membentuk organisasi dan tujuan dari Negara dalam kesesuaian dengan hubungan produksi material pada tahapan tertentu dari perkembangan kapitalis15.

Ringkasnya, konsep Marx tentang masyarakat sipil sebagai moment stuktur, dapat di pandang sebagai titik keberangkatan analisa Gramsci. Tapi, teori Gramsci memperkenalkan sebuah penemuan yang cukup mendasar dalam tradisi Marxis: masyarakat sipil dalam konsep Gramsci tidak berada pada moment stuktur, melainkan pada superstuktur. Gramsci melihat bahwa, superstuktur yang bisa mewakili factor aktif dan positif dari perkembangan sejarah. Selain itu, superstuktur merupakan hubungan-hubungan budaya dan ideology yang kompleks, kehidupan intelektual dan spiritual.

Pada dasarnya Gramsci mendefinisikan Negara, dengan dua pokok batasan. Pertama, dalam pengertian ‘terbatas’. Kedua, Negara diartikan dengan ‘diperluas’. Kedua konsep itu secara bersamaan dielaborasi olehnya di dalam penjara. Dalam masalah ini, Gramsci memakai penjelasan yang dominan dalam gagasannya tentang Negara16:

Haruslah dicatat bahwa pandangan umum tentang Negara mencakup unsur-unsur yang harus dirujuk ulang pada pandangan tentang masyarakat sipil (dalam pengertian ini orang akan mengatakan bahwa Negara = masyarakat politik + masyarakat sipil. Atau dengan kata lain, hegemoni yang dilindungi oleh kekerasan bersenjata”.


Kemudian pada saat yang sama, Gramsci membuat perbedaan metodologis dalam rangka menjelaskan segi yang berbeda dari realitas Negara17:

Apa yang dapat kita lakukan untuk momen itu adalah menetapkan tingkatan besar superstuktur; satu tingkatan bisa disebut masyarakat sipil, yakni kumpulan organisme yang lazim disebut privat, dan masyarakat politik atau Negara. Kedua tingkatan ini berkesesuaian di satu pihak dengan fungsi hegemoni, yang dilaksanakan kelompok dominant pada seluruh masyarakat, dan dipihak lain, dengan dominasi langsung yang diekspresikan melalui Negara dan pemerintahan yuridis”.


Pandangan kedua ini menunjukan bahwa Gramsci sadar tentang masalah yang membedakan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik. Namun perbedaan yang ditunjukkan oleh Gramsci itu terlihat hanya pada tekanan tertentu dari hakikat Negara, dan bukannya pada esensi. Pada definisi pertama, Gramsci berbicara tentang ‘pandangan umum tentang negara’, dimana di dalamnya terdapat unsure masyarakat sipil. Ini menunjukkan suatu tumpang tindih dari dua wilayah yang sebenarnya tidak berbeda secara esensial. Pada definisi kedua tentang dua bidang sperstuktur, ia menggunakan istilah ‘dominasi langsung’ yang akan berdampak bahwa ada sebuah ‘dominasi tak langsung’ dalam masyarakat sipil. Negara dan pemerintahan yuridis adalah ekspresi dari dominasi langsung. Di sini Negara dan aparatus legalnya terlihat sebagai sebuah definisi yang terbatas.


  1. Konsep Hegemoni

Hegemoni adalah suatu bentuk pengungkungan terhadap obyaek tertentu dan terlembaga18. Dan dalam hal hegemoni yang ditinjau dari hubungan antara Negara dan masyarakat sipil, Gramsci membagi menjadi tiga19, yaitu: pertama, hegemoni yang menyangkut kebudayaan dan kepemimpinan moral, yang di laksanakan dalam masyarakat sipil. Contohnya, adalah demokrasi borjuis barat dan bentuk demokrasi parlementernya, hegemoni dalam kasus ini berperan dalam membujuk klas pekerja untuk memilih wakil parlemen secara sukarela. Kedua,hegemoni yang di gerakkan dalam Negara sebagaimana halnya yang digerakkan dalam masyarakat sipil. Pada titik ini, Gramsci melihat pentingnya peran pendidikan dan lembaga-lembaga hukum dalam menjalankan hegemoni. Ketiga, perbedaan antara Negara dan masyarakat sipil dihilangkan secara bersamaan, atau dengan kata lain, mendefinisikan Negara sebagai masyarakat politik ditambah masyarakat sipil.

Melihat aspek ketiga hegemoni ini, muncul sebuah konsep baru mengenai Negara yakni konsep Negara integral atau Negara yang diperluas. Negara integral merupakan hegemoni yang dilapisi dengan selubung berupa kekuasaan koersi hegemoni, sekalipun bekerja ditingkat kesadaran umum selalu didampingi oleh langkah koersi. Jadi, Negara integral merupakan masyarakat politik ditambah masyarakat sipil20.

Maka dilihat dari fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa Negara integral memiliki dua aspek. Pertama, alat-alat kekerasan. Kedua, alat penegakkan kepemimpinan hegemonis, seperti pendidikan, agama, media, penerbitan dan lain-lain.

Pada dasarnya, secara sederhana seringkali disebutkan bahwa hegemoni itu bekerja pada lapangan budaya, bergerak ditingkat kesadaran21. Namun, jangan dianggap bahwa aparatur Negara sudah tidak bekerja lagi. Dalam prakteknya antara hegemoni dan koersi terus berjalan secara berdampingan. Meskipun demikian, Negara integral berbeda dengan Negara totaliter. Negara totaliter tidak ada unsure sukarela tetapi sebagai paksaan, sementara Negara integral masih menyediakan peluang untuk menghasilkan consent yang sukarela dan tanpa dipaksa. Perbuatan sukarela bisa dilakukan jika pada aspek superstukturnya telah terbentuk sedemikian rupa yang kemudian masyarakat tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya. Jadi, setiap momen hegemoni yang ada, itu menampilkan suatu hubungan tertentu antara kekuatan-kekuatan klas, dan dalam setiap momen tertentu yang ada kompromi antara keduanya adalah mungkin dan penting.


Dan dari sini Gramsci mengatakan bahwa Negara merupakan sejumlah aktivitas praktek dan teori yang kompleks, dimana klas yang berkuasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasi, tetapi mengaturnya untuk memenangkan pemaksaan aktif terhadap kekuatan di luarnya. Karena pencapaian kekuasaan Negara akan muncul setelah penegakkan hegemoni dilakukan.





















BAB III

KESIMPULAN

Dalam konteks kenegaraan, antara masyarakat sipil dan aparatur Negara selalu tumpang tindih dengan berbagai kontruksi dari berbagai pemikiran tentang konsep kenegaraan. Walaupun demikian, perlu kita amati bahwa berbagai hasil pemikiran itu muncul bukan karena tanpa sebab, tetapi lebih didasari oleh kenyataan hidup yang terus menerus berubah dari waktu ke waktu. Di dalam konsep pemikiran Gramsci, kita bisa mengetahui bagaimana dia berusaha memetakan dua wilayah yang berbeda, walaupun pada esensinya sama. Dan bagaimana relasi yang terjadi jika, keduanya dipertemukan.


Bisa kita teliti dari berbagai pemikirannya, hampir sama dengan konsep Karl Marx tetapi Gramsci titik tekannya pada superstukturnya (tingkat kesadaran pola pikir) yang mana, ini dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan belaka. Dan menurutnya, hal ini yang paling rentan dan membahayakan karena masyarakat tidak akan sadar dengan apa yang ada di sekitarnya. Jika ini sudah terjadi maka, bersiaplah untuk menjadi boneka-boneka yang tidak pernah tahu akan keadaan sekitar dan bersiap untuk di jadikan bahan lelucon oleh mereka yang bisa melakukan konsep hegemoni.

.










DAFTAR PUSTAKA


Patria, Nezar & Arief, Andi, Antonio Gramsci (Negara & Hegemoni), Pustaka Pelajar, cetakan II, Yogyakarta, 2003.


Schmid, J.J. von, Ahli-ahli Fikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka Sarjana, Jakarta, 2003.


Hendarto, Heru, Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci, Gramedia, Jakarta, 1993.


Budiman, Arif, Teori Negara; Negara,Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia, Jakarta, 1996.


Suseno, Frans Magnis, Etika Politki, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987.


Jalaluddin Rahmat, Hegemoni Budaya, Bentang, Yogyakarta.1997.


1 Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci (Negara & Hegemoni), Pustaka Pelajar, cetakan II, Yogyakarta, 2003. hal 43.

2 Ibid.

3 Ibid. Hal 44.

4 Ibid.

5 J.J. von Schmid, Ahli-ahli Fikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka Sarjana, Jakarta, 2003. hal 35.

6 Op. Cit. hal.3.

7 Heru Hendarto, Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci, Gramedia, Jakarta, 1993. hal 133.

8 Schmid, Op. Cit. Hal 40.

9 Ibid.

10 Nezar Patria & Andi Arif, Op. Cit. Hal. 5.

11 Ibid.

12 Arif Budiman, Teori Negara; Negara,Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia, Jakarta, 1996. hal 15.

13 Ibid.

14 Schmid, Op. Cit. hal 47.

15 Ibid.

16 Arif Budiman, Op. Cit. hal 139.

17 Ibid.

18 Nezar Patria, Op. Cit. hal 140.

19 Ibid.

20 Frans Magnis Suseno, Etika Politki, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1987. hal 22.

21 Jalaluddin Rahmat, Hegemoni Budaya, Bentang, Yogyakarta.1997. hal 87.

1


Tidak ada komentar: