Rabu, 04 Juni 2008

Aspek Puitis dari Kekuasaan dan Kepemimpinan

Alois Agus Nugroho

AKHIR Maret lalu Kompas mengaitkan kepemimpinan dengan puisi (1). Wawancara bertajuk "Pendidikan Politik: Belajar dari Sultan Agung" itu mengemukakan harapan agar elite politik Indonesia memiliki kepekaan puitis. Kaitan antara kekuasaan politis dan kreativitas puitis sesungguhnya bukan hanya muncul dalam tulisan populer semata-mata.

Stanley Rosen, guru besar filsafat Universitas Boston, menemukan kaitan itu sesudah mengaji karya terkenal filsuf terkenal Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra (2). Pemikiran Nietzsche ini dianggap sebagai salah satu sumber inspirasi penting bagi pascamodernisme (sebagai pascastrukturalisme) Perancis, terutama pemikiran Michel Foucault (3) yang dapat dipadatkan ke dalam semboyan Pouvoir est savoir "kekuasaan adalah pengetahuan".

Kekuasaan sebagai ekspresi puitis

Dalam gelombang pemikiran pascamodernisme, kekuasaan itu dapat dilihat sebagai kontingensi ekspresi puitis yang menjadikan dirinya normalitas. Dalam penafsiran Stanley Rosen, the will to power adalah ekspresi puitis untuk mengatur chaos menjadi kosmos. Kemudian deskripsi kekuasaan menurut Foucault dapat dilihat sebagai hal yang menjadikan puisi kontingen itu menjadi bahasa biasa. Dan dengan latar seperti itu dapat kita mengerti mengapa Richard Rorty memberi peranan publik yang sangat penting kepada penyair kuat.

Pemikiran Nietzsche dapat disoroti sebagai filsafat rasa hidup (4) dan dengan demikian dapat disejajarkan dengan pemikiran Henri Bergson, Sigmund Freud, Charles Darwin, atau Alfred North Whitehead. Ada daya hidup yang menggelegak yang memenuhi semesta ini, kreativitas yang muncul dan tenggelamnya hanya dapat diasumsikan. Substratum hidup atau energi kreatif ini tampaknya dipengaruhi oleh hukum termodinamika dalam fisika. Namun, dalam bingkai pemikiran yang terbatas, ia tampak sebagai sesuatu yang yang senantiasa kembali dari zaman ke zaman.

Energi ini mendorong makhluk hidup mempertahankan kelangsungan hidup. Namun, lebih dari sekadar kelangsungan hidup individu, yang menjadi tujuan ialah kelangsungan hidup spesies, atau dari fenotipe yang mencerminkan struktur genotipe yang relatif dekat. Libido adalah istilah yang dipakai oleh Freud untuk mengacu daya hidup ini, yang untuk sebagian amat besar mengabdi pada tujuan hidup sebagaimana diamati oleh Darwin: kelangsungan hidup spesies. Manajemen libido dalam lingkungan sosial tidak hanya melibatkan proses represi saja, tapi juga proses sublimasi yang lebih produktif. Kedua-duanya memproduksi, atau mereproduksi, peradaban. Tujuan hidup kemudian menjadi bukan hanya melangsungkan hidup, melainkan-meninggalkan pemikiran Darwinian-hidup baik dan hidup lebih baik (5).

Dorongan vital ini, bagi Whitehead maupun Nietzsche, adalah sesuatu yang tidak berbentuk, tidak beraturan, singkatnya merupakan chaos. Diperlukan bantuan keilahian menjinakkan chaos itu dengan bentuk-bentuk untuk menatanya dan dengan tujuan dari penataan itu. Sebab-musabab formal dan sebab-musabab final filsafat Aristoteles, yang telah lama dilupakan oleh ilmu pengetahuan modern yang terlalu sibuk dengan sebab-musabab material dan sebab-musabab efisien, dipanggil kembali oleh Whitehead. Pada titik ini pulalah pacamodernisme kosmologis yang Whiteheadian bersimpang jalan dengan pascamodernisme pascastrukturalis atau dekonstruksionis yang Nietzschean itu (6).

Akan tetapi, bagaimana mungkin vitalitas yang merupakan chaos itu dapat ditata menjadi kosmos oleh vitalitas itu sendiri, tanpa bantuan dari luar seperti dalam filsafat Whitehead? Di sinilah konsep keinginan berkuasa atau hasrat berkuasa menjadi penting. Dalam konsep hasrat berkuasa ini, kata hasrat atau keinginan harus dimengerti dengan baik. Hasrat itu bukanlah semata-mata dorongan memiliki kekuasaan, seakan- akan kekuasaan ialah obyek yang terpisah dari hasrat itu, sekan-akan kekuasaan adalah obyek yang tidak dipunyai oleh hasrat itu. Kekuasaan adalah ekspresi dari hasrat berkuasa itu sendiri, aktualisasi diri, usaha mengatasi diri, keinginan bertumbuh (7). Di sini vitalitas yang fitri dan khaotis mendapat sosok awalnya yang berkonotasi politis.

Dengan konsep hasrat akan kekuasaan itu, maka segala upaya untuk menata –dalam arti memahami dan menangani gejala– merupakan ekspresi diri dari vitalitas yang fitri. Tidak ada ukuran dari luar, standar umum, yang dapat dipakai untuk menera apakah suatu pemahaman itu sungguh-sungguh benar dan suatu penanganan itu sungguh-sungguh baik. Perspektif yang digunakan oleh hasrat berkuasa atau the taming of chaos ini oleh karena itu bersifat kreatif dan spontan. Dengan demikian, hasrat berkuasa atau the taming of chaos itu adalah puisi. Ia adalah kreativitas yang memberi bentuk pada dirinya sendiri dan mengarahkan diri pada tujuan yang digariskan sendiri

Dalam bingkai pemikiran Nietzsche, bila chaos asali ini dipahami, maka peradaban, apa pun bentuknya-agama, ilmu, ideologi, negara, sekolah, penjara, rumah sakit, pabrik, untuk menyebut beberapa di antaranya-tidak lain adalah puisi-puisi kompleks dari order out of chaos atau –dalam istilah Nietzsche sendiri-the will to power. Di balik normalitas semua peradaban, bekerja riak gelombang kekuasaan yang bersifat puitis, dalam arti merupakan ekspresi kreatif vitalitas diri dan membenarkan diri sendiri (hermeneutic circle).

Puisi yang menjadi bahasa biasa

Kita sebentar membelok sedikit ke pascamodernisme jalur Anglo-Sakson, atau jalur english-speaking. Jalur ini, pada hemat kami, bertumbuh dari pembalikan dalam pemikiran Ludwig Wittgenstein, seorang Austria yang pernah belajar di Manchester dan menjadi profesor filsafat di Universitas Cambridge. Kebenaran bagi Wittgenstein bukan pertama-tama kesesuaian dengan data empiris. Kebenaran ditentukan dalam konteks, dalam bingkai linguistik (language-game), dalam bingkai sosio-kultural (form of life).

Pentingnya bingkai komunitarian ini kemudian dipakai oleh Thomas Kuhn, profesor filsafat dan sejarah ilmu di Universitas Berkeley, Universitas Princeton, dan kemudian di MIT, dalam istilah paradigma yang terkenal itu. Bahkan, data empiris menjadi data empiris karena adanya bingkai itu (theory-ladenness). Kuhn sebenarnya berminat pada normalitas dari kerja ilmu pengetahuan dan juga pada perubahan dari normalitas ilmiah satu ke normalitas ilmiah lain. Bagi Kuhn, perubahan itu bersifat revolusioner, dalam bentuk pergeseran paradigma atau Gestalt-switch, karena tidak ada dua paradigma atau normalitas yang commensurable (8).

Pemikiran Wittgenstein dan Kuhn ini pada gilirannya diambil alih oleh pascamodernisme Richard Rorty. Kebenaran bagi Rorty adalah ciri suatu proposisi yang jalan dalam suatu diskursus, artinya yang dipahami dan dianggap benar dalam diskursus komunikatif dalam komunitas itu. Artinya lagi, yang benar adalah yang terbiasa, yang normal bagi bingkai atau konteks sosio-kultural tertentu. Pendidikan lebih merupakan edification, yakni membuat anak didik terbiasa dengan diskursus yang ada (9).

Jalur Anglo-Sakson yang berangkat dari aliran filsafat yang sering disebut filsafat bahasa biasa ini boleh dikatakan adalah jalur yang bermodelkan bahasa. Dalam bahasa, apalagi bahasa Inggris, tidak mudah melihat asimetri kekuasaan dalam hubungan kekuasaan yang menopang normalitas. Rorty, demikian pula Wittgenstein, tidak menjadikan kekuasaan sebagai isu. Bahkan, Rorty tidak berbicara tentang benturan diskursus (benturan peradaban) sebagai konsekuensi dari pertemuan bingkai-bingkai komunitarian yang baginya incommensurable itu.

Bahwa dalam politik bahasa pun terjadi rivalitas antara bahasa Perancis dan bahasa Inggris pada tingkat internasional, ataupun pada tingkat nasional seperti di Kanada, tidak dibahas sama sekali. Rorty hanya mengotbahkan solidaritas antarkultur dan menggarisbawahi peranan penyair kuat sebagai katakanlah virus dialog multikultural untuk menjalin solidaritas dan toleransi (10).

Sebenarnya Kuhn sudah sedikit menyinggung peranan kekuasaan dalam normalitas ilmiah. Buku teks diobservasi sebagai salah satu sarana untuk memasukkan siswa atau mahasiswa ke dalam normalitas ilmiah tertentu (11). Buku teks adalah sarana domestikasi, perwujudan kekuasaan normalitas. Kuhn juga mengobservasi bahwa recalcitrant data baru dianggap sebagai anomali bila diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam normalitas ilmiah itu (12).

Kuhn tidak mengolah lebih lanjut peranan kekuasaan dalam normalitas dan revolusi ilmiah ini. Meskipun demikian, dalam wacana pemikir Anglo-Sakson itu kita sudah dapat menangkap bayang-bayang kekuasaan sebagai rezim pengetahuan, rezim diskursus atau-lebih baik-rezim normalitas itu. Kekuasaan, yang dapat dilihat sebagai puisi dari the taming of chaos atau the will to power telah mempertahankan diri dan berhasil menjadi sebuah rutinitas yang normal, sebuah bahasa biasa.

Adalah pascamodernisme Perancis, terutama Michel Foucault, yang menggarap secara eksplisit tema kekuasaan dalam menjaga stabilitas dari normalitas itu seraya membalikkan pandangan modernisme. Bagi Foucault, bahkan pengetahuan pun dilahirkan dalam bingkai kekuasaan agar kekuasaan itu dapat efektif dan operasional. Bukan pengetahuan yang menjelmakan diri dalam kekuasaan agar pengetahuan itu efektif seperti kata Francis Bacon, tetapi kekuasaanlah yang menjelma ke dalam pengetahuan itu agar kekuasaan itu efektif. Mengikuti Bacon, kita perlu meraih pengetahuan dan dari situ kita akan menggenggam kekuasaan. Namun, sebaliknya bila kita mengikuti Foucault, kita meraih kekuasaan dan otomatis akan mengantongi pengetahuan.

Pemikiran modernisme, dalam kehidupan sosial, menggambarkan hubungan itu sebagai truth (knowledge), right, dan power. Foucault menggambarkannya sebagai power, right dan truth (knowledge). Teori-teori filosofis dan yuridis abad ke-17 dan ke-18 menganggap pengetahuan sebagai yang utama, menggali kemanusiaan dan hak-hak setiap manusia sebagai manusia berdasarkan esensi manusia, dan kemudian apa esensi negara dan hak-hak subyek yang mana dapat diserahkan kepada negara dan mana yang tidak; jadi penentuan tentang kedaulatan negara dan batas-batasnya.

Pengetahuan tentang batas-batas kedaulatan negara inilah yang membuat kaum intelektual universal dan para pujangga memiliki privilese mengawasi tindak-tanduk negara dan politik. Pengetahuan yang benar adalah di luar kekuasaan, merefleksi kekuasaan, bersifat imparsial, karena itu dapat dipakai mewasiti kekuasaan.

Berbeda, malahan berkebalikan, dengan pendapat yang masih sangat lazim di kalangan kaum terpelajar, cerdik cendekia dan para aktivis sosial, Michel Foucault mengobservasi bahwa pengetahuan (kebenaran) tidaklah di luar kekuasaan, tidak merupakan ganjaran bagi jiwa yang merdeka, atau bagi insan yang mengendapkan diri dalam keheningan, bukan pula ganjaran bagi mereka yang berhasil membebaskan diri dari penindasan (13). Bagi Foucault, kekuasaan menentukan pengetahuan dalam arti: menetapkan tipe-tipe diskursus yang dianggap benar, menetapkan mekanisme dan patokan yang memungkinkan untuk membedakan proposisi yang benar dan yang salah; menetapkan teknik dan prosedur dalam mencapai kebenaran di atas; menetapkan status dari mereka yang ditugasi untuk mengatakan hal-hal yang dianggap benar.

Dalam arti ini, pengamat atau intelektual yang dianggap paling imparsial atau paling tidak partisan pun sebenarnya sedang mengekspresikan vitalitas diri, ia sedang memanifestasikan the will to power.

Tentu saja kekuasaan itu tidak mungkin kita persempit semata-mata hanya pada kekuasaan negara. Kekuasaan itu ialah kekuasaan – dalam bahasa Anglo-Sakson – untuk menjamin normalitas, regularitas, familiaritas. Negara memang penting, namun kekuasaan untuk menjamin normalitas ini lebih dari sekadar kekuasaan negara. Pertama, negara tak mencakup semua hubungan kekuasaan aktual. Kedua, negara hanya dapat beroperasi secara efektif berdasarkan relasi-relasi kekuasaan lain yang sudah ada, serangkaian jaringan kekuasaan beraneka yang sudah beroperasi pada berbagai hal, semisal teknologi, pengetahuan, puak dan marga, keluarga inti, bahkan tubuh dan seksualitas. Kekuasaan itu menyebar. Subjek, begitu pun institusi, adalah korban sekaligus penjelmaan dari kekuasaan.

Dalam rezim pengetahuan ada pengetahuan yang ditindas (minor knowledge, meminjam Deleuze). Foucault justru tertarik menggali pengetahuan yang ditindas oleh kekuasaan normalitas itu. Karena itu metode itu disebutnya arkeologi. Dengan arkeologi, Foucault memaksudkan metode menggali dan menganalisis diskursus lokal atau pengetahuan kecil. Sedangkan genealogi diberinya arti sebagai taktik di mana diskursus lokal atau pengetahuan kecil itu dioperasikan sehingga pengetahuan historis tentang konflik yang nyaris terkubur dapat dihidupkan lagi dan pengetahuan populer yang dipandang kelas kambing dapat diangkat kembali.

Disadari bahwa sejarah bagi Foucault ialah konflik, bahkan perang, atau – dalam bahasa uraian ini - perbenturan antar the taming of chaos. Di sini sekali lagi terjadi pembalikan, kali ini terhadap dalil Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perpanjangan dari diplomasi (politik) dalam bentuk lain. Foucault menyatakan yang sebaliknya: politik adalah perpanjangan perang dalam bentuk lain. Perdamaian adalah salah satu bentuk perang, negara (penjamin perdamaian) adalah senjatanya. Kita sendiri dapat merumuskan lagi dengan mengatakan bahwa normalitas adalah salah satu bentuk penindasan dengan senjata yang beraneka. Tesis Nietzsche mengenai hasrat akan kekuasaan menjadi asumsi dasar dari pascamodernisme Foucault.

Dalam pemikiran pascamodern, perang atau konflik ini tidaklah pertama-tama dimengerti sebagai benturan antar individu. Konflik atau perang ini bukan lagi the war of every man against every man sebagaimana dimengerti oleh Thomas Hobbes. Perang yang digambarkan dalam revolusi Kopernikan yang dilakukan oleh Foucault terhadap Clausewitz itu ialah benturan antara rezim normalitas dan, oleh karena itu, bersifat komunitarian. Di samping itu tak boleh kita sisihkan resistensi, yaitu perlawanan dari-katakanlah-puisi alternatif terhadap kekuasaan yang sudah memantapkan diri menjadi bahasa biasa. Panggung sejarah karena itu adalah arena.

Kaca mata Karl Marx melihat arena ini dalam fokus pertentangan kelas dan puisinya adalah puisi tentang kepentingan ekonomi dengan proletariat sebagai pahlawan protagonis dan borjuasi sebagai antagonis, masing-masing dengan puisi yang mereka rajut. Kompetisi komunitarian ini sebenarnya juga sudah dapat ditemukan dalam pemikiran filsuf yang dianggap sebagai penggagas Uni Eropa, yakni intelektual Spanyol, Jose Ortega y Gasset. Dengan menjadikan daya hidup sebagai perspektif dasar, sebagaimana Nietzsche dan Whitehead, Ortega y Gasset menganggap generasi sebagai kenyataan penting dalam perkembangan sejarah (14).

Sejarah adalah arena di mana terjadi benturan antara the taming of chaos yang dirajut generasi berusia 45-60 tahun dengan the taming of chaos yang dirajut generasi 30-45 tahun. Perbedaannya dengan pemikiran Kuhn dan Marx adalah bahwa pada pemikiran Ortega, kompetisi antargenerasi yang sifatnya internal dalam sebuah masyarakat itu tidak perlu ditandai oleh incommensurability ataupun perbedaan kepentingan tanpa titik temu. Dengan kata lain, bagi Ortega, revolusi bukanlah suatu keniscayaan dalam perubahan kekuasaan sebagai pergantian puisi dominan. Ada kesinambungan, kesamaan, tumpang tindih, dialog, antara dua semangat zaman yang berurutan.

Pemimpin sebagai "penyair kuat"

Pertemuan antarbahasa biasa, atau katakanlah antarperadaban, yang masing-masing unik dan kontingen, serta deskripsi ulang pada kosakata utama setiap bahasa biasa agar efek puitisnya tetap hidup, itulah yang antara lain membuat Rorty memberi bobot besar kepada peran yang dimainkan oleh penyair kuat. Dalam konteks kita sekarang, kepenyairan kuat kita hubungkan dengan kepemimpinan, dan bukannya secara harafiah kita hubungkan semata-mata dengan peran literati, pujangga, budayawan, ataupun intelektual.

Dalam buku Contingency, Irony and Solidarity (15), Rorty terutama menekankan perlunya norma non-cruelty dimasyarakatkan dan dipegang teguh oleh komunitas liberal. Kebajikan dalam komunitas semacam itu ialah semakin sempurnanya kesetiaan pada kewajiban untuk tidak berbuat kejam terhadap pihak lain secara lahir maupun batin. Peran penting dari penyair kuat bagi Rorty ialah menghidupkan terus-menerus vitalitas dari non-cruelty ini mengarungi waktu dan arena interaksi antarpercakapan.

Juga, penyair kuat semacam itu perlu tetap menyadari sifat puitis dari normalitas sebagai –dalam istilah kami di depan-the taming of chaos. Dalam upaya menjinakkan hidup yang bergelora liar, ada banyak cara unik untuk mengekspresikan puisi. Dalam istilah Rorty sendiri, penyair kuat itu harus bersifat ironis, artinya menyadari kontingensi dari normalitasnya sendiri, dia harus secara rendah hati menyadari kenisbian posisi, dan dengan demikian menghormati pluralisme normalitas dan multikulturalisme.

Rorty memberi peran sosial besar kepada apa yang disebutnya sebagai penyair kuat. Dikaitkan dengan interpretasi Stanley Rosen atas filsafat Nietzsche, serta peranan filsafat Nietzsche dalam pemikiran sosial Michel Foucault, maka kita dapat pula menempatkan pemikiran pascamodern Richard Rorty dalam rangkaian kereta pemikiran itu. Rosen mengartikan pemikiran Nietzsche sebagai deskripsi atas kekuasaan sebagai ekspresi puitis dari vitalitas yang fitri untuk menata dirinya yang khoaris. Bila dilihat dari perspektif ini, maka kekuasaan sebagaimana dideskripsikan Foucault dapat diartikan sebagai proses-proses yang menjaga stabilitas puitis sehingga puisi itu akan dihayati sebagai normalitas, sebagai bahasa biasa. Dan istilah yang dipakai Rorty, yakni penyair kuat, menunjuk pada simpul-simpul atau kristalisasi-kristalisasi (katakanlah: pelembagaan) dari jaring-jaring kekuasaan itu atau, dengan kata lain, menunjuk pada kepemimpinan.

Oleh karena itu, kepemimpinan juga memiliki aspek puitis. Dilihat dari aspek puitis itu, kepemimpinan perlu menghidupkan dan menggelorakan imajinasi tentang kesatuan atau identitas. Cara bicara pascamodern, atau mata uang yang laku dalam transaksi pascamodern, ialah yang berbunyi bahwa yang asali adalah keterpecah-pecahan. Maka kesatuan sebagai imajinasi puitis yang dipakai untuk-meminjam Foucault-mendisiplinkan keterpecah-pecahan haruslah tetap dibuat efektif dan relevan. Dilihat dari aspek puitis kepemimpinan, seorang pemimpin harus mampu mengartikulasikan impian atau visi dasar atau-meminjam Rorty-kosakata final (16) dari komunitas yang dipimpinnya.

Ketidakmampuan pemimpin mengartikulasikan atau mendeskripsikan ulang visi dasar atau kosakata final dari masyarakatnya hanya akan membuat masyarakat yang dipimpinnya tercerai-berai, karena kehilangan imajinasi puitis tentang kesatuan. Inilah kepemimpinan dalam organisasi yang ditandai oleh skizofrenia. Ketidakmampuan menghidupkan-meminjam Bung Karno-apinya imaginasi puitis itu pada gilirannya memaksa pemimpin berpaling kepada rekayasa, kepada kekerasan, kepada cruelty. Pemimpin yang terlalu mudah berpaling kepada kekerasan dapat dianggap sebagai pemimpin yang tidak menyadari aspek puitis dari kekuasaan dan kepemimpinan.

Akan tetapi, menyadari aspek puitis dari kekuasaan dan kepemimpinan juga berarti menyadari kontingensi dari normalitas yang ditegakkannya. Menganggap kesatuan itu real-atau lebih baik hiper-real-tanpa ruang batin untuk sepercik ironi dan tanpa kemampuan refleksi diri pada ruang publik, membuat pemimpin dan organisasi bagaikan pribadi yang mengidap paranoia.

Seorang pemimpin perlu mengembangkan toleransi terhadap cara hidup yang lain dan solidaritas dengan yang lain bukan karena sama tetapi –seperti sudah dikemukakan oleh Emmanuel Levinas– justru karena lain.

Penutup

Kelemahan ulah pikir yang berintikan filsafat Nietzsche ini terletak pada kenyataan bahwa sebuah revolusi pun tidak mungkin bertolak dari titik nol yang berupa chaos sama sekali. Artinya, kekuasaan dan kepemimpinan dalam arti tertentu juga-meminjam Heidegger-terlempar pada diskursus dan praktik kebudayaan yang sudah ada. Bahkan kaum revolusioner dan-apalagi-reformis pun pada dirinya akan dibayang-bayangi diskursus lama.

Cara pandang bahasa sebenarnya malah memperkuat kenyataan ini. Puisi memang dapat memperbarui dan meningkatkan daya gugah bahasa biasa. Meski demikian, tampaknya lebih tepat kita mengatakan bahwa titik tolak puisi adalah bahasa biasa, daripada mengatakan bahwa titik tolak bahasa biasa adalah puisi. Demikian pula visi kekuasaan harus dapat merespons ekspektasi yang untuk sebagian sudah dibentuk oleh diskursus lama. Biarpun visi itu menjulur ke masa depan yang jauh supaya tidak mengidap myopia, adekuasinya juga bergantung pada apakah dia dipahami oleh orang-orang dengan bahasa biasa atau tidak.

Dengan demikian, sudah kita kupas adanya dua tegangan yang harus diperhatikan oleh kekuasaan dan kepemimpinan pada semua tingkatan. Tegangan pertama ialah antara chaos dan grand illusion (17). Tegangan kedua ialah antara kebaruan dan keterlemparan, atau antara idealisme dengan realisme.

Catatan akhir

(1) Kompas, Rabu 31 Maret 2004.

(2) Stanley Rosen, The Mask of Enlightenment: Nietzsche’s Zarathustra, Cambridge: Cambridge University Press, 1995.

(3) Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, New York: Pantheon Books, 1980, hlm 133.

(4) Tentang Nietsche dan filsafat rasa hidup lihat misalnya Jozef Van de Wiele & Sylvain De Bleeckere, Friedrich Nieetzsche. De lof van het leven en de waan van de waarheid, Antwerpen/Amsterdam: Uitgeverij de Nederlandsche Boekhandel, 1982. Tentang everlasting dibedakan dengan eternal dalam hal temporalitas meskipun dalam bahasa Indonesia keduanya dipadankan dengan kata abadi. Everlasting berarti temporal, berada dalam waktu, sebaliknya eternal itu berarti berada di luar waktu.

(5) Lihat Alfred North Whitehead, a.b. Alois A Nugroho, Fungsi Rasio, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

(6) Dalam mengantar edisi majalah Process Studies yang bertemakan hubungan antara filsafat proses dan studi organisasi, Mark R Dibben dan John Cobb Jr membedakan pascamodernisme kosmologis dengan pascamodernisme pascastrukturalis, Process Studies, vol 32 (2003), No 2. Demikian juga Charles Jencks membedakan pascamodernisme kosmologis dari Whitehead dengan pascamodernisme dekonstruksionis. Foucault dan Rorty masuk ke dalam pascamodernisme pascastrukturalis atau pascamodernisme dekonstruksionis itu. Pascamodernisme inilah yang sering diasosiasikan dengan relativisme atau nominalisme, bahkan nihilisme itu. Ciri umum aliran pemikiran ini ialah sifatnya yang antimetafisika, menolak semua yang berpretensi universal dan fundasional. Sebaliknya, pascamodernisme kosmologis tidak antimetafisika. Mereka hanya menolak metafisika modern yang terlalu mekanistis. Pascamodernisme kosmologis adalah pandangan metafisis yang dikonstruksi dari pencapaian-pencapaian terbaru dalam sains, hasilnya adalah fisika yang dikunjungi oleh biologi. Kalau modernisme menghasilkan disenchantment of the world, pascamodernisme kosmologis mencanangkan reenchantment of the world. Sebagian terbesar pembicaraan kita ini tentang pascamodernisme pascastrukturalis, namun konsep order out of chaos, autopoesis adalah konsep-konsep kesayangan bagi pascamodernisme kosmologis.

(7) Keith Ansell-Pearson dalam The Encyclopedia of Aesthetics, Vol 3, hlm 367

(8) Thomas S Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago & London: University of Chicago Press, 1970(2), hlm 111.

(9) Richard Rorty, Philosophy and The Mirror of Nature, Oxford: Basil Blackwell, 1980.

(10) Richard Rorty, Contingency, Irony and Solidarity, Cambride: Cambridge University Press, 1989.

(11) Thomas S Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago & London: University of Chicago Press, 1970(2), hlm 10.

(12) Ibid, 77-93.

(13) Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, New York: Pantheon Books, 1980, hlm 131.

(14) Alois A Nugroho, "Manusia dan Perubahan Sejarah: Berfilsafat Bersama Jose Ortega y Gasset", dalam M Sastrapratedja, Manusia Multi Dimensional, Jakarta: Gramedia, 1982.

(15) Richard Rorty, Contingency, Irony and Solidarity, Cambride: Cambridge University Press, 1989.

(16) Tentang final vocabulary, lihat Rorty, Ibid., misalnya hlm 192.

(17) Lee Harris menyebut paranoia komunitarian ini dengan The Grand Illusion, lihat Lee Harris, Civilization and Its Enemies. The Next Stage of History, New York: Free Press, 2004, hlm 49-67. Konsep "aku" sebagai "ilusi yang perlu" dalam proses konstitusi "ego" pada tataran individu kami pelajari dari strukturalisme Jacques Lacan.

Alois Agus Nugroho Pengajar di Universitas Atma Jaya, Jakarta


Tidak ada komentar: