Rabu, 04 Juni 2008

Harian KOMPAS, Sabtu, 08 Oktober 2005



Oleh: Maria Hartiningsih



Seorang teman yang banyak melakukan penelitian sosial bersorak ketika mendengar berita bahwa bantuan subsidi bahan bakar minyak dari pemerintah diserahkan kepada perempuan. Artinya perempuan diakui sebagai pengelola keuangan rumah tangga yang baik. Mereka tahu apa yang harus dilakukan, katanya.

Mungkin peneliti itu juga akan dengan mudah menarik kesimpulan, kekerasan dalam rumah tangga tidak jadi masalah karena perempuan-perempuan respondennya menjawab, ”Tak ada soal. Itu hak suami.

Kesimpulan sejenis diperlihatkan seorang peneliti yang mempertanyakan mengapa perempuan aktivis selalu mengatakan dalam krisis ekonomi, pemutusan hubungan kerja (PHK) atas nama efisiensi paling berdampak pada buruh perempuan.

Waktu saya tanya apa buruh laki-laki juga mengalami PHK, aktivis itu bilang ya, ujar peneliti itu. Kalau laki-laki juga kena, mengapa yang disebut hanya yang perempuan. Bukankah berarti bahwa baik perempuan maupun laki-laki buruh terkena dampak PHK?

Seandainya peneliti itu melakukan analisisnya dengan perspektif feminis, ia tidak akan berhenti di situ. Ia akan mengeksplorasi lebih jauh sehingga dapat memaknai fakta lapangan secara berbeda.

Perspektif feminis yang dipaparkan dalam buku Shulamit Reinharz akan mengungkapkan banyak hal yang tak terungkap dengan metode ilmu sosial yang ada, ujar Aris Mundayat, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dengan perspektif feminis— perspektif ini berasal dari perspektif kritis— suara perempuan terdengar lebih nyaring karena peneliti akan menggugat fakta yang tersodor dengan sejumlah pertanyaan lanjutan dan observasi, disertai empati pada nasib mereka yang dikalahkan dalam suatu relasi kuasa.

Karena itu, perspektif ini juga sangat penting untuk menggemakan suara orang-orang dari kelompok yang terpinggir dan dipinggirkan, sambung Gadis Arivia, pengajar pada Jurusan Filsafat Universitas Indonesia dan pendiri Yayasan Jurnal Perempuan.

Perspektif, Bukan Metode
Dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Women Research Centre (WRI) di Jakarta, akhir pekan lalu, kedua akademisi itu membahas buku Shulamit Reinharz,
Feminist Methods in Social Research (1992), yang telah diterjemahkan dan diterbitkan WRI dengan judul Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial (2005).

Menurut Sita Aripurnami dan Edriana Nurdin dari WRI, diskusi itu merupakan putaran awal dari putaran-putaran berikut untuk mencari model penelitian feminis dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial.

Tujuannya akhirnya adalah membangun kelompok peneliti yang menggunakan perspektif feminis supaya dapat mengungkap banyak hal yang tidak terungkap dengan metode penelitian konvensional. Dengan begitu, kesimpulan penelitian lebih memberikan suara kepada perempuan dan kelompok yang lemah serta terpinggirkan dalam relasi-relasi kekuasaan di dalam masyarakat.

Dengan perspektif feminis, pertanyaan mengenai pemberian subsidi BBM kepada perempuan, misalnya, akan memasuki wilayah personal sebagai hal yang strategis, politis, dengan pertanyaan utama mengenai relasi kuasa dalam rumah tangga.

Buku Reinharz sebenarnya bukan merupakan petunjuk teknis untuk melakukan penelitian, melainkan suatu risalah dari banyak penelitian yang telah dilakukan para feminis, perempuan dan laki-laki, untuk mendefinisikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

Buku itu menyediakan satu dari sekian pintu masuk menuju pemahaman produksi pengetahuan feminis beserta kritik dan alternatifnya terhadap praktik-praktik produksi pengetahuan yang sering kali meminggirkan pengalaman perempuan.

Aris mengingatkan pandangan Reinharz, mengenai feminisme sebagai perspektif, bukan metode, karena secara historis, feminisme menentang berlakunya struktur kekuasaan dan asumsi-asumsi antrosentrisme dalam ilmu pengetahuan dan dalam masyarakat. Feminisme juga berarti sebuah proses, dengan tujuan, strategi, penyadaran dengan visi untuk menolak bentuk-bentuk kontrol dari masyarakat yang dominan.

Dengan perspektif feminis, Aris mematahkan asumsi-asumsi moral dalam penelitian mengenai buruh seks di Sukabumi. ”Di banyak tempat, berbagai penindasan terhadap perempuan menggunakan dalih agama,” ujarnya.

Proses penelitian menjadi lebih panjang karena pengalaman hidup perempuan muda yang menjadi respondennya menjadi sangat penting. Ia menemukan bagaimana perempuan buruh seks mengadaptasi pandangan patriarki dengan menggunakan seks sebagai pintu masuk dan pintu keluar untuk mengontrol.

Tetapi lalu terjadi relasi kuasa baru, antara dia dan para trafficker, kemudian dengan germonya. Kami menemukan banyak persoalan yang belum pernah dibahas, ujar Aris.

Ia meyakini, menjadi feminis bukanlah klaim, melainkan sebuah proses belajar yang panjang untuk memahami dan berempati pada nasib mereka yang dikalahkan dalam suatu relasi kuasa.

Gadis Arivia menjelaskan secara lebih mendasar tentang feminisme, mulai dari filsafat ilmunya, perjalanan metode-metode penelitian disertai latar belakang asumsi di baliknya.

Verifikasi dengan justifikasi dan penjelasan yang logis dalam positivisme, misalnya, akan menegasikan hal-hal simbolis yang banyak digunakan perempuan untuk mengungkapkan pengalaman hidupnya.

Beberapa ilmuwan yang cukup kritis memandang positivisme dalam reproduksi pengetahuan pun ternyata masih menyisakan positivisme dalam pandangan-pandangannya.

Misalnya, cara melihat dunia untuk memahami nilai-nilai manusia yang dikemukakan Fayerabend, masih bisa dipertanyakan, dunia dari kacamata siapa oleh feminis.

Aksi Politik
Seperti dipaparkan Gadis, cara produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan banyak digugat oleh teoris feminis Sandra Harding, dengan pertanyaan, ilmu pengetahuan siapa, pengetahuan siapa, karena ada kelompok yang suaranya diabaikan oleh metode seperti itu.

Sandra Harding menyodorkan epistemologi standpoint sehingga posisinya jelas, yakni berpihak kepada suara sub-altern, dengan mengangkat suara-suara dari kelompok yang tak berdaya. Pengalaman mereka menjadi hal yang harus dipertimbangkan.

Bagi Gadis, modus dan analisis feminis melibatkan teori dan praktik. Teori menjadi artikulasi dan pengalaman praktis sehari-hari. Teori juga dilihat sebagai aspek apropriasi, cara membangun pengetahuan.

Teori-teori feminis terus-menerus menekankan pembongkaran dan dekonstruksi untuk mempertanyakan relasi-relasi kuasa dalam pengetahuan, kebenaran, kekuasaan, dan komunikasi ujarnya.

Dengan pemahaman itu, Gadis melakukan pembongkaran istilah dalam bahasa, dengan mengeksplorasi transformasi desire of power kepada desire for power yang dipaparkan oleh Aris, menjadi desire to power, yang berarti memberdayakan.

Dalam dimensi radikal feminis, teori-teori feminis telah mengubah pandangan ilmu pengetahuan, menggoyahkan klaim universalitas, otoritas, dan kebenaran tunggal. Karena itu, bagi Gadis, reaksi dari teori feminis adalah aksi politik.

Sebagai feminis, peneliti atau akademisi tidak bisa tidak peduli pada apa yang terjadi di masyarakat. Ia tak lagi bisa mengatakan, saya kan peneliti, ilmuwan, ngapain ikut demo, ujar Gadis.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Lisabona Rahman, feminis dan aktivis Yanti Muhtar bertanya soal representasi. Soal subyektivitas-obyektivitas juga mendapat porsi pembahasan yang cukup panjang di samping soal identitas peneliti. Semua itu tampaknya mewakili dua hal penting yang dibahas dalam buku Reinharz.

Pertama mengenai asal muasal ilmu pengetahuan, baik antara mereka yang memandang dirinya sebagai feminis maupun yang bukan. Kedua, tentang dilema yang kerap muncul, bahkan di antara peneliti yang memandang diri mereka sebagai feminis, terkait dengan soal subyektivitas (subjectivity), keragaman (diversity), hubungan (rapport), dan ilmu (science).

Diskusi tampaknya masih panjang, dan mungkin meluas. Akan tetapi, Aris Mundayat mengingatkan agar metode itu tidak mengambil alih pandangan patriarki dengan merezimentasi dan menghegemonikannya, seperti pada metode penelitian lainnya. ***

Anggaran Berperspektif Gender, Mungkinkah?

By admin - Posted on June 7th, 2007

Harian KOMPAS, Sabtu, 24 September 2005



Oleh: Ninuk Mardiana Pambudy



Ketika pemerintah memutuskan menyalurkan langsung dana kompensasi BBM kepada keluarga, secara sadar perempuan istri dipilih sebagai penerima dana tersebut.

Menteri Sekretaris Negara, Yuzril Ihza Mahendra mengatakan, pilihan tersebut untuk menghindari ekses yang tidak diinginkan dalam pemanfaatan dana sebesar Rp. 100.000 per bulan per keluarga itu. Pilihan tersebut secara tidak langsung mengakui bahwa perempuan memiliki pengalaman dan kepentingan berbeda dibandingkan laki-laki.

Pengalaman perempuan sering dikaitkan dengan kelahiran dan pemeliharaan kehidupan. Meskipun ayah sebagai orangtua juga bertanggungjawab terhadap kesehatan dan pendidikan anak-anak dalam perkawinan, tetapi dalam tatanan sosial masyarakat saat ini, ibu masih diposisikan lebih bertanggungjawab terhadap kesehatan dan pendidikan anak. Data statistik memperlihatkan ketertinggalan perempuan di berbagai bidang. Dapat dikatakan, kemiskinan di Indonesia berwajah perempuan.

Salah satu penyebab ketimpangan di antara pengambil keputusan, terutama setelah era otonomi daerah, bahwa pembangunan sebenarnya meninggalkan perempuan.

Upaya pengarusutamaan jender yang tidak dapat perhatian seperti ditunjukkan oleh pengalaman berbagai daerah, memperlihatkan tidak sensitifnya pemerintah bahwa kesetaraan dan keadilan jender merupakan salah satu prasyarat utama dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteran.

Dalam diskusi advokasi kebijakan berkeadilan jender yang diadakan Women Research Institute di Jakarta, 13 September 2005, dengan narasumber dari pemerintah, organisasi nonpemerintah dan DPR yang diwakili Nursanita Nasution dari Komisi XI, semua sepakat bahwa salah satu cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan, terutama perempuan dan anak adalah melalui anggaran pendapatan dan belanja pemerintah yang berkeadilan jender.

Dalam kenyataannya, ternyata banyak hambatan dalam membuat anggaran berkeadilan jender. Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Dr. Ir Sujana Royat, DEA, menyebutkan, inkonsistensi antara perencana, penganggaran dana, pengimplementasian program, dan pemantauan pelaksanaan program, kerap belum sinkron. Kendala lain adalah belum meratanya cara pandang mengenai kesetaraan dan keadilan jender di lembaga pengambil keputusan.

Namun, menurut Sujana yang sebelumnya bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), prasyarat bagi upaya operasional dalam mewujudkan anggaran di sektor publik yang berkeadilan jender adalah adanya Rencana Aksi Nasional (RAN) yang jelas dalam sasaran dan tujuan, pilihan mitra strategis, serta pilihan-pilihan strategis yang akan dilakukan. Sampai sekarang menurut Sujana, kantor Menneg Pemberdayaan Perempuan belum memiliki RAN yang diajukan ke pemerintah untuk didanai.

Lemahnya koordinasi antara perencanaan penganggaran hingga proses politik menjadi anggaran yang berkeadilan jender juga dikemukakan Ketua Tim Pengurus Strategi Penanggulangan Kemiskinan Bappenas Sumedi Andoyo Mulyo, PhD. Selain itu, kementerian juga belum punya rencana kerja operasional serta tidak jelasnya pembagian tugas dan kewenangan antara kementerian dalam penyusunan anggaran berkeadilan jender, serta koordinasi yang lemah dalam pengelolaan program yang dibiayai pinjaman luar negeri.

Menanggapi pandangan pemerintah tersebut, Perwakilan Ford Foundation di Indonesia, Meiwita Budiharsana, tidak sependapat. Menurut Meiwita, data Badan Pusat Statisktik (BPS) memperlihatkan dengan jelas dimana prioritas anggaran berkeadilan jender harus dialokasikan.

Angka buta huruf misalnya, BPS menyebutkan bahwa penduduk perempuan usia di atas 10 tahun yang buta huruf di pedesaan berjumlah 16 persen dan diperkotaan 7 persen, sementara untuk laki-laki angkanya 8 persen dan 3 persen. Penduduk yang berusia diatas 15 tahun, data organisasi kependudukan PBB UNFPA memperlihatkan 45 persen perempuan buta huruf dan laki-lakinya "hanya" 23 persen.

Jumlah bidan yang tersedia pada tahun 2000 adalah 62.906 orang atau rasionya 71 bidan untuk 100.000 perempuan usia produktif. Jumlah bidan turun drastis menjadi 39.906 orang. "Itu karena otonomi daerah dan pemerintah daerah tidak mau membayari bidan desa sehingga mereka pindah ke kota untuk mencari hidup," kata Meiwita.

Tidak mengherankan bila angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Indonesia tetap tinggi. Pemerintah menyebut angka tahun 2002-2003 besarnya 307. tetapi angka ini tidak memasukkan data dari Papua, Aceh, Maluku dan Maluku Utara selain terdapat sampling error yang cukup besar. Menurut Meiwita, Human Development Report 2004 menyebut AKI di Idnonesia adalah 380 pada tahun 2002.

Mereplikasi Praktik Terbaik
Dari sedikit pemerintah daerah yang memiliki sensitivitas jender, menurut Direktur Yayasan Tifa Alexander Irwan, adalah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana, Bali. Irwan membuat pembanding antara Jembrana dan Kota Solo.

Di Solo dari APBD 2005 sebesar Rp. 354,6 Milyar; 89 persen dipakai untuk anggaran rutin dan hanya 11 persen untuk anggaran pembangunan. Sementara Jembrana, pada tahun 2003 menganggarkan belanja rutin 54,07 persen dan sisanya untuk biaya pembangunan dari jumlah APBD Rp. 233.551.943.745.

Anggaran yang dapat diperebutkan untuk anggaran berkeadilan jender adalah pada anggaran pembangunan. Karena itu menurut, menurut Irwan, yang harus diusahakan adalah memperbesar jumlah anggaran pembangunan sehingga ruang yang bisa doperebutkan untuk anggaran berkeadilan jender menjadi lebih besar. Jembrana bisa menyediakan biaya pendidikan dan kesehatan gratis dan situasi ini dinilai lebih jender sensitif sebab umumnya yang berkepentingan dengan pendidikan dan kesehatan anggota keluarga adalah perempuan seperti data statistik yang diperlihatkan BPS.

Berkaitan dengan dana kompensasi BBM, Irwan mengatakan dana tersebut dapat dimanfaatkan dengan lebih produktif daripada diberikan langsung sebagai konsumsi. Bila dana subsidi BBM yang besarnya Rp. 12,5 Trilliun- Rp. 13,5 Trilliun dibagikan merata ke 461 kabupaten, maka tiap kabupaten menerima Rp. 27 Milyar, yang dapat digunakan sebagai dana abadi yang digulirkan kepada kelompok-kelompok untuk membangun kegiatan ekonomi.

Dana ini bila dikelola dengan baik, dapat menyejahterakan masyarakatnya seperti yang terjadi di Jembrana. Kabupaten ini berhasil mengumpulkan dana abadi sebesar Rp. 24 miliar dalam empat tahun yang digulirkan kepada kelompok-kelompok usaha di sana.

Meskipun ada contoh yang baik, tetapi contoh itu tidak serta merta dapat direplikasi. Jembrana, yang dianggap berhasil membuat anggaran yang jender sensitif dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat, tidak dijadikan contoh oleh kabupaten lain di Bali. Beberapa Pemkab bahkan menjadikan biaya ke puskesmas sebagai sumber pendapatan kabupaten.

Kepala Pengembangan Program IDEA Yogyakarta, Dati Fatimah mencontohkan karena adanya kebijakan swadana untuk puskesmas dan rumah sakit, maka lembaga kesehatan itu menjadi tempat mencari uang. Pemkab Bantul, misalnya menempatkan retribusi kesehatan sebagai pos tertinggi penerimaan anggaran tahun 2004, begitu juga Yogyakarta, Gunung Kidul (2003) dan Subang (2004). "Biaya puskesmas di Yogya, naik dari Rp. 700 menjadi Rp. 4000, sedangkan Kebumen, kesehatan menajdi sumber utama taun 2005 ini" kata Dati.

Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana membuat kepentingan dan suara perempuan muncul di dalam penyusunan anggaran. Contoh yang disampaikan Dr. Sumedia dari Bappenas mengenai alur penyusunan rencana APBD DKI Jakarta 2006 misalnya, terdapat Forum Pakar yang merupakan forum konsultasi penyusunan anggaran. Tetapi forum itu lebih banyak diisi oleh orang-orang perguruan tinggi dan aparat pemerintah propinsi dan kurang menyertakan suara perempuan didalamnya. ***


Tidak ada komentar: